Penantian Selama Tiga Belas Tahun Terjawab Sudah


Perjalanan hidup pasangan suami istri, Pdm. Ungke Godfried Dirk dan Ester Widyawati sangat unik. Mereka sama-sama mempunyai masa lalu yang kelam. Ester, anak pendeta yang getol belajar bela diri dan tari ular. Sementara Ungke, dari kecil sudah belajar karate, judo, dan silat di Perguruan Kayutsi, serta mempelajari kekebalan tubuh dan doyan berkelahi. Karena kemampuan bela dirinya, Ungke pernah menjadi pelatih di lingkungan Akabri dan Polri Yogyakarta. "Meskipun kami berdua dari keluarga Kristen, kami sama-sama punya masa lalu yang kelam. Namun, Tuhan begitu sabar terhadap kami, Ia terus menuntun kami mengenal-Nya," kata Ester yang dulu kerap mempertontonkan kebolehannya menari ular di kampus ataupun acara di kampung.

Mereka menikah di GPIB Margamulya, Yogyakarta, 12 Mei 1989. Seminggu setelah menikah, Ungke berangkat berlayar. Dia pulang setahun sekali untuk menemui Ester yang bekerja di Jakarta. Merasa kurang pas berkeluarga "jarak jauh", tahun 1992, Ungke mencari pekerjaan di darat agar bisa terus bersama-sama Ester. Singkat cerita, Ungke yang lahir 21 September 1961 ini diterima bekerja sebagai sopir di GBI Bukit Kalvari yang digembalakan oleh Pdt. Ade Manuhutu, tempat ia beribadah. Beberapa tahun kemudian, Ungke melanjutkan kuliah di STII Jakarta. Kedua lingkungan baru itu semakin mendekatkan mereka pada Tuhan.

Menanti Buah Hati

Setelah melewati lima tahun usia pernikahan, Ester yang lahir pada 27 Oktober 1963 ini belum juga hamil. Seperti pasangan suami istri lainnya, mereka mulai gelisah. Berbagai usaha pun dilakukan. Hasil pemeriksaan dokter kandungan di YPK Theresia, Menteng Jakarta Pusat menunjukkan ada penyumbatan di sisi kanan dan kiri rahim Ester. Untuk membukanya, dokter melakukan tindakan "tiup".

Setelah sekian lama, usaha ini tak berhasil, Ester pun pindah kepada dokter di Semarang. Namun karena tak sanggup untuk selalu bolak-balik Jakarta-Semarang, pengobatan itu pun dihentikan. Bisa dipahami, "bolak-balik" ke dokter bukan hal ringan -- memakan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang tak sedikit. Apa lagi tahun 1998, krisis moneter menerpa Indonesia. Ester tidak lagi bekerja.

Tahun 1999, seorang dokter menganjurkan Ester untuk menjalani sebuah operasi dengan perkiraan biaya sebesar Rp 5 juta. Sayangnya, anjuran dokter itu tidak dapat mereka penuhi karena alasan biaya. "Dari peristiwa ini, saya dan Ungke cuma bisa pasrah dan berserah pada Tuhan. Hari-hari selanjutnya, kami berdoa agar semakin mengerti kehendak Tuhan dalam pernikahan kami. Ketika saya berhenti bekerja, saya mulai sibuk terlibat pelayanan bersama Ungke yang memang melayani sepenuh waktu," kenang Ester.

Berkat di Tengah Badai

Lambat-laun mereka mulai "lupa" dengan pergumulan mereka. Dokter kandungan pun sudah tidak lagi "ditengok". Mereka menyatukan hati untuk memiliki pikiran bahwa apa pun yang terjadi, mereka harus tetap bersyukur. Sedikit pun tidak tebersit niat untuk meninggalkan Tuhan hanya karena keinginan dan harapan mereka belum terkabul. Sebaliknya, mereka semakin giat melakukan pelayanan.

Tahun 2001, pasangan Ester dan Ungke yang tinggal di daerah Jatibening, Bekasi ini merasakan dampak masalah "kertas uang" yang menimpa Pdt. Ade Manuhutu. Peristiwa ini memang menjadi pemberitaan di media massa Indonesia. Maklum saja, Ade mantan artis kondang dan Ungke sering kali mendampingi pendetanya saat berurusan dengan pihak berwajib.

Hampir setiap malam, rumah mereka disatroni pria-pria "tidak jelas" yang berbadan tegap dan berambut gondrong. Teror kata-kata kotor dan kasar menghujani mereka lewat telepon rumah ataupun "handphone". Mesin penjawab telepon mereka pun penuh dengan sumpah serapah. "Bahkan banyak kata menghujat nama Yesus," kata Ungke.

Pernah suatu malam ketika "rombongan pria" itu kembali berkumpul di depan rumahnya, Ungke tak tahan dengan ulah mereka. Darahnya mendidih dan emosinya terbakar. Keberanian di masa silam kembali menghentak, Ungke merasa ditantang. Ester ketakutan. Ia terus merintih dalam doa. Ungke tak sabar, ia meraih pisau dan bersiap-siap menghunjamkannya bila ada yang berani masuk. Laki-laki asal Sangir Talaud itu pun meradang di pojok kamar mandi, bersiap-siap menorehkan darah lewat tikaman pisau yang digenggamnya dengan gemetar. Tiba-tiba ia mendengar suara lembut penuh cinta yang ia yakini itu suara Tuhan, "Akulah Allah pembelamu." Ungke menangis, mohon ampun atas cara yang hendak ia gunakan. "Kalau saja waktu itu saya sampai melakukan kekerasan, saya ... kalah! Masak pendeta hantam orang! Saya mungkin sudah tinggalkan pelayanan," ujar Ungke dengan suara terbata-bata menahan tangis. Syukur pula seluruh tetangga mengerti benar apa yang sedang dialami Ester dan Ungke. Tidak ada yang terpancing untuk menanggapi kelompok orang yang telah mengganggu kenyamanan di lingkungan itu.

Merasa tak nyaman karena bahaya mengancam, Ester dan Ungke meninggalkan rumah dan "berkelana". Selain pergi ke rumah orang tua Ester di Purwodadi, mereka mengambil waktu khusus untuk berdoa di Bukit Doa Getsemani, Ungaran, Semarang. Mereka menemukan tempat pelarian yang tepat. "Kami terus belajar mengerti maksud Tuhan lewat peristiwa ini. Sempat terpikir dalam hati kami untuk meninggalkan Jakarta dan memulai pelayanan baru di kota lain, Yogyakarta misalnya. Ini kami sampaikan kepada Tuhan. Di bukit doa, kami banyak merenungkan firman Tuhan yang menguatkan kami. Ada jaminan pertolongan bagi yang berseru dan berharap kepada Tuhan," kisah Ungke yang bersama Ester kerap doa-puasa di bukit doa itu.

Tantangan itu harus dihadapi bukan dihindari, kata Ade Manuhutu saat bertemu mereka di Magelang. Pertemuan itu menguatkan mereka untuk menghadapi masalah yang terjadi. Ester dan Ungke pun mengambil keputusan: pulang ke Jakarta. Mereka kembali pada pelayanan yang telah Tuhan percayakan. Lambat-laun, masalah menakutkan itu pun selesai karena karya Tuhan.

Satu bulan setelah kembali ke Jakarta, Ester terkena demam hingga badannya lemas tidak berdaya. Namun karena situasi belum juga baik, mereka menginap di rumah saudara. "Tiba-tiba saya ingat, kok pembalut saya utuh? Saya telat menstruasi. Lalu saya minta Ungke beli alat tes kehamilan. Hasilnya, positif!"

Penantian Tiga Belas Tahun itu Akhirnya Terjawab

Tidak hanya pasangan Ester dan Ungke yang dengan penuh sukacita menanti kelahiran anak mereka. Saudara, kerabat, dan tetangga mereka ikut bahagia. Akhirnya, setelah tiga belas tahun menunggu, tanggal 7 November 2002, lewat operasi caesar, Ester di usia 39 tahun melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Jevon Albert Dirk di RS Mitra, Bekasi. "Uang yang kami siapkan tidak cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Namun, ternyata Tuhan sedang menunjukkan sesuatu: bahwa pengharapan pada Tuhan tidak akan pernah sia-sia. Begitu banyak orang yang digerakkan Tuhan untuk menolong kami. Dr. Ester Situmeang yang menangani kelahiran Jevon membebaskan biaya jasa dokter. Teman gereja, bahkan seseorang yang tidak seiman membantu kami," kata Ungke. "Jevon, tambah Ester, "dalam bahasa Ibrani berarti anugerah Allah yang paling indah."

Selagi usia Jevon belum genap setahun, Tuhan menambahkan kebahagiaan mereka. Ester hamil lagi dan pada 25 Maret 2004, dia melahirkan bayi perempuan, yang mereka beri nama Janet Abigail Dirk. Hampir sama dengan Jevon, dalam bahasa Ibrani, Janet artinya pemberian Allah yang paling indah. "Dulu kami berdoa, Tuhan beri kami satu anak saja sudah cukup membuat kami bahagia, malah Tuhan beri lebih dari permohonan kami. Berkat sepasang anak, lengkap sudah," kisah Ester.

Rumah itu kini tak lagi sepi. Gelak tawa Jevon dan tangis Janet kadang terdengar bersama-sama memecah keheningan pagi, bahkan saat malam telah larut. Boneka, bola, dan segudang mainan menghiasi sudut-sudut ruangan. Nyanyian anak-anak dari mulut Ester dan Ungke yang ditirukan Jevon terdengar menyentuh .... Betapa bahagia mereka ketika Jevon yang saat ini sedang belajar bicara bisa memanggil mereka, "Mama dan Papa."

Ya, percayalah mukjizat Allah masih berlangsung!



Dipublikasikan di: http://kesaksian.sabda.org/penantian_selama_tiga_belas_tahun_terjawab_sudah