Sabtu, 07 Agustus 2010

Paulus dari Tarsus

Paulus dari Tarsus (awalnya Saulus dari Tarsus) atau Rasul Paulus, (3 Masehi–67 Masehi) diakui sebagai tokoh penting dalam merumuskan ajaran Yesus. Paulus digambarkan dalam Perjanjian Baru sebagai Yahudi yang berkebudayaan Yunani (helenis) dan warga Roma dari Tarsus (sekarang Turki). Mulanya ia seorang penganiaya orang Kristen (saat itu bernama Saulus), dan sesudah pengalamannya berjumpa Yesus di jalan menuju kota Damaskus, ia berubah menjadi seorang pengikut Yesus Kristus (Kis. 9).


Dia membuat usaha yang luar biasa melalui surat-suratnya kepada komunitas non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus adalah untuk semua orang, bukan hanya orang Yahudi. Gagasan Paulus ini menimbulkan pertikaian antara dirinya dengan murid-murid Yesus, terutama Petrus dan Yakobus, yang percaya bahwa untuk menjadi pengikut Yesus, orang-orang yang bukan Yahudi haruslah pertama-tama menjadi Yahudi terlebih dulu (lih. Gal. 2:11-14). Untuk menyelesaikan konflik ini, diadakanlah persidangan di Yerusalem (Kis. 15), yang disebut sebagai Sidang Sinode atau Konsili Gereja yang pertama.

Konsili ini menghasilkan beberapa keputusan penting, misalnya:

1. untuk menikmati karya penyelamatan Yesus, orang tidak harus menjadi Yahudi terlebih dahulu
2. orang-orang Kristen yang bukan berasal dari latar belakang Yahudi tidak diwajibkan mengikuti tradisi dan       pantangan Yahudi (mis. hal-perihal tentang sunat dan memakan makanan yang diharamkan).
3. Paulus mendapat mandat untuk memberitakan Injil ke daerah-daerah berbahasa Yunani.

Paulus dijadikan seorang Santo (orang suci) oleh seluruh gereja yang menghargai santo, termasuk Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Anglikan, dan beberapa denominasi Lutheran. Dia berbuat banyak untuk kemajuan Kristen di antara para orang-orang bukan Yahudi, dan dianggap sebagai salah satu sumber utama dari doktrin awal Gereja, dan merupakan pendiri kekristenan Paulin (kekristenan bercorak Paulus). Surat-suratnya menjadi bagian penting Perjanjian Baru. Banyak yang berpendapat bahwa Paulus memainkan peranan penting dalam mendirikan agama Kristen sebagai agama yang berbeda, dan bukan sebagai sekte dari Yudaisme.

Surat-surat Paulus

Surat-surat Paulus bukan hanya menjadi alat komunikasi antara dirinya dengan komunitas-komunitas Kristen perdana, melainkan juga sebagai uraian teologisnya. Menurut para ahli Perjanjian Baru, yang tergolong dalam surat-surat Paulus adalah:
1.Surat Galatia
2.Surat 1 dan 2 Korintus
3.Surat Efesus
4.Surat Filipi
5.Surat Kolose
6.Surat Filemon
7.Surat 1 dan 2 Tesalonika
8.Surat Roma

Beberapa surat lainnya seringkali dipercayai berasal dari Paulus juga, seperti Surat 1 dan 2 Timotius dan Surat Titus, namun para ahli Perjanjian Baru juga menduga surat-surat itu ditulis oleh orang lain, kemungkinan adalah para pengikut Paulus.

Paulus dan Trinitas 

Paulus adalah orang Ibrani asli dan pengikut aliran paling keras, yaitu dari golongan Farisi. Hal ini bukan hanya memberi dampak yang mendalam atasnya, tapi juga memberi kebanggaan yang besar karena . Ia telah mendapat pengajaran dibawah pengawasan Gamaliel, dan telah berkembang lebih maju daripada kebanyakan temannya sezaman dalam soal agama Yahudi.

Tiap usaha untuk merumuskan bagaimana sifat yang sebenarnya dari agama Yahudi pada abad pertama, seperti yang dikenal Paulus itu, menghadapi banyak kesukaran. Sebab banyak dari bahan yang dimiliki tentang agama Yahudi diambil dari sumber-sumber yang kemudian. Agama Yahudi yang dipimpin para rabi memang memiliki banyak akar yang kuat pada abad pertama. Tapi bentuk-bentuknya yang lebih maju baru timbul pada zaman yang lebih kemudian daripada zaman Paulus. Lagi pula dalam ajaran Yahudi sendiri terdapat pengaruh-pengaruh Helenisme, teristimewa di luar Yudea. Bahkan juga di Palestina sendiri muncul kecenderungan-kecenderungan yang menampakkan beberapa sinkretisme di antara gagasan Yahudi dan Helenisme, seperti yang disaksikan oleh naskah Laut Mati.

Tidak mungkin untuk menghargai beberapa dari corak yang menguasai teologia Paulus, tanpa menunjuk kepada ketegangan-ketegangan yang ada dalam pikiran Paulus sebelum ia bertobat. Agama Yahudi pada hakekatnya adalah agama legalistis (berdasarkan perbuatan) dalam pendekatannya. Bahwa Paulus dikecewakan sekali di bawah sistem itu terang dari sikapnya, jika ia menunjuk kepada pengalamannya yang telah lalu. Ia tahu bahwa pembenaran oleh amal tidak mungkin, karena ia sendiri telah mengalaminya sebagai hal yang tidak mungkin. Namun agama Yahudi adalah pencarian tentang pembenaran, dan tidak ada sistem keagamaan yang akan pernah dapat memuaskan jiwa Paulus, yang tidak menawarkan alat-alat yang cocok untuk mendapatkan kebenaran itu. Barangkali inilah (lebih daripada konsep tunggal lain yang mana pun), yang disumbangkan oleh latar belakang Yahudinya pada perkembangan teologia Paulus.

Suatu corak lain dari pendekatan keagamaan Paulus adalah besarnya pengaruh Perjanjian Lama atas dia. Sekalipun dalam banyak hal ia memakai naskah Septuaginta (LXX), namun pada hakekatnya caranya menggunakan Kitab-kitab Perjanjian Lama adalah cara Yahudi. Dalam hal ini bertentangan dengan Filo dari Alexandria, yang menafsirkan sejarah Alkitab secara alegoris. Tapi Paulus melihat pernyataan Allah pada perbuatan-perbuatan-Nya dalam sejarah.

Sebagai Yahudi, Paulus kuat kepercayaannya kepada Allah yang satu dan benar. Lebih dari itu ia memiliki keyakinan tentang kekudusan Allah. Dalam agama Yahudi kepercayaan ini memimpin kepada transendentalisme, tapi dalam teologia Kristen Paulus tidak ada persoalan tentang Allah yang jauh. Allah didekatkan di dalam Yesus Kristus. Tapi tidak dapat diragukan bahwa bagi konsepsinya yang mulia tentang Allah, Paulus banyak berhutang kepada warisan Yahudinya.



Pandangan Paulus tentang Allah dipengaruhi sekali oleh Perjanjian Lama dan oleh kepercayaan Yahudi yang konsekuen. Pandangan itu pada hakekatnya juga sama dengan yang terdapat dalam ajaran Yesus. Pandangannya tentang Allah tinggi, tapi ia tidak mengikuti kesalahan orang Yahudi sezamannya, yang menjadikan Allah jauh sekali (transendentalisme). Konsepnya tentang Allah dikuasai oleh gagasan tentang kasih karunia, yaitu kebaikan Allah yang bukan berdasarkan kelayakan manusia. Paulus tidak pernah dapat melepaskan diri dari gagasan, bahwa seluruh proses keselamatan itu adalah inisiatif Allah dan tidak tergantung pada usaha manusia. Ia tahu benar kasih Allah di dalam Kristus dan tidak pernah jemu untuk mengucapkan hal itu.

Yesus Kristus sendiri senantiasa berpatokan kepada Perjanjian Lama sedangkan monotheisme adalah dasar dan inti Perjanjian Lama. Perjanjian Lama tidak menulis bahwa Allah yang Esa terdiri atas tiga pribadi yang berbeda. Klimaks Perjanjian Lama adalah Allah sendiri yang telah turun ke bumi untuk melaksanakan penyelamatan dunia dalam rupa Mesias yang ilahi, Manusia Ilahi, tangan Tuhan.